Dikala becak diburu, dimusnahkan dan dilarang beroperasi di Jakarta, Jogja justru membiarkan dirinya disebut sebagai "kota becak". Kenapa begitu? Pengin tahu?
Jogja memang istimewa, lain dari yang lain. Ketika becak di Jakarta sedang gencar dirumponkan, Sri Sultan HB IX justru menyatakan bahwa becak dapat dijadikan ciri penanda budaya Jawa, sehingga harus dijaga kelangsungan hidupnya. Ya, keberadaan becak di Jogja telah menjadi bagian dari sistem ekonomi yang khas dengan menciptakan rantai ekonomi kota yang saling menguntungkan berbagai pihak. Dalam wilayah turisme misalnya, keberadaan tukang becak tidak dapat dilepaskan dari para pemandu wisata, para penjual kerajinan, penjual makanan dan oleh2, galeri, hotel, toko souvenir, para abdi dalem Kraton, bahkan dengan pelacuran.
Pada kemunculannya pertamakali di Indonesia, becak dielu elu dianggap sebagai arena lapangan kerja baru. Namun selanjutnya becak ditolak kehadirannya justru karena kelenturannya yang luar biasa sebagai penampung pencari kerja yang datang ke kota, yang dianggap "membahayakan" pembangunan kota moderen. Aneka alasan seperti becak tidak manusiawi kek, becak sumber kemacetan kek, dipakai untuk meminggirkan, untuk meniadakan becak dari kehidupan kota. Menyanggah dengan mengatakan bahwa becak itu merupakan moda transportasi yang manusiawi dan ramah lingkungan, namun tanpa diimbangi dengan pemahaman becak sebagai bagian dari sejarah kota itu, bakalan sia2 deh. Mengatakan sanggahan demikian justru semakin menegaskan bahwa becak memang rentan terhadap pemusnahan. Dan itulah yang telah terjadi di kota besar. Seperti di Ibukota Jakarta sejak beberapa puluh tahun lalu becak dilarang beroperasi.
Namun lain cicak lain buaya, lain becak di Jogja lain di Jakarta. Di Jogja becak bukan semata-mata perkara transportasi yang tidak manusiawi ataupun perkara mobilitas "wong cilik" yang memacetkan jalanan dan menyesaki ruang kota, tetapi antara becak dan kota Jogja, keduanya memang saling menghidupi saling melengkapi, sudah bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, kayak mimi lan mintuno. Gitu loh…
Perjalanan sejarah becak di Jogja dimulai sebelum Perang Dunia II. Dan selama beberapa tahun setelahnya, becak dapat diterima dengan baik sebagai alat transportasi. Banyak tenaga pengayuh yang terserap. Ongkosnyapun relatif murah. Lebih cepat dari berjalan kaki dan relatif nyaman. Dikala hujan, penumpang tidak kehujanan, dikala panaspun tidak kepanasan, lha wong ada atap terpalnya. Yang jelas becak merupakan alat transportasi yang lebih baik dari yang ada sebelumnya untuk memecahkan masalah transportasi dengan jarak yang cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak hanya bisa mengangkut orang tapi becak juga bisa mengangkut barang. Jadi becak merupakan alat angkut orang dan barang yang nir energi, nir polusi dan "teleknya" tidak mengotori (jika dibandingkan dengan andong).
Pernah becak jadi raja jalanan. Tapi itu dulu sewaktu belum ada angkot, taxi maupun ojek. Kala itu becak banyak berseliweran di sela sepeda pribadi, beberapa motor pribadi, segelintir mobil pribadi, andong serta gerobak sapi. Pengusaha rental becak berjaya. Dan saya juga masih ingat dulu di sebelah rumah, di Kemetiran Kidul dekat Malioboro, ada garasi merangkap bengkel becak milik Bah Mbing. Saya yang masih ABG demen nongkrong di situ melihat pak Man Juru Gambar, salah satu pekerjanya, bekerja menggambari slebor2 becak. Slebor itu tidak hanya digambari pemandangan gunung kembar, Merapi dan Merbabu, tapi juga ditulisi dengan aneka slogan, Adem Ayem, Ayem Tentrem, Waton Ayem, dsb.Wiih, unik banget.
Oleh Bah Mbing becak2 yang puluhan jumlahnya itu disewakan ke para tukang becak yang berasal dari desa pinggiran Jogja, dari mBantul, ngGanjuran, Palbapang, nDenggung, Sentolo, Prambanan, mBayat, Wonosari dsb. Tidak siang tidak malam becak2 itu laris tersewa. Mereka, para tukang becak, biasa mangkal di Stasiun, di Pasar, di Stanplat, di Malioboro, di depan hotel atau dimana saja tempat yang ramai orang. Di pagi hari kita bisa melihat becak dikayuh tergesa mengantar anak berangkat sekolah dan siang harinya menjemput pulang. Atau kita bisa melihat Pak Paijan ngos2an nggenjot becak mengantar Mbokde Setu Legi (setengah tuwo lemu ginuk2) menuju ke pasar dan sorenya menuju pulang.
Kostum pak becak teramat sederhana. Nyeker, bercelana kolor, berbaju seadanya dan bercaping. Mereka berpakaian seadanya seperti itu karena mereka memang bukan orang yang berada. Umumnya mereka hanya punya modal dengkul (dalam arti harafiah). Sehingga kalau becak kemudian diindentikkan dengan kehidupan rakyat kecil, dengan kemisikinan, itu memang tidak keliru. Yo pancen begitulah kenyataannya waktu itu, mau bilang apa?
Jamanpun berkembang, roda2 berputar kian kencang. Sepeda onthel yang dulu digeos kethowal kethawil dan mlakune thimik2 kini telah digantikan oleh pit montor alias sepeda motor, gerobak sapi salin rupa jadi Kijang pikep, andong jadi angkot. Kini tak lagi terdengar glodhak glodhek suara roda besi pedati, tak sering lagi terdengar dag dig dug suara sepatu kuda. Yang santer terdengar adalah suara ingar bingar deru mesin, bunyi raungan knalpot serta prat pret bunyi klakson kendaraan2 bermotor. Dan di lingkungan nan hiruk pikuk seperti itulah becak itu berada. Piye Jal?
Kalau di tempat lain jangan harap becak dapat selamat dari seleksi alam yang super ketat macam begitu. Lambat laun becak bakal tergusur tergantikan oleh jenis angkutan lain yang lebih ampuh dan lebih bisa wes ewes bablas ngebut. Tapi untunglah berkat sejarah kota Jogja yang istimewa, Jogja sebagai kota budaya dan sebagai daerah tujuan wisata maka kita boleh berharap keberadaan becak di Jogja akan bisa langgeng lestari senantiasa hingga nanti sepanjang masa, sepanjang usia kota Jogja. Wis jan, Jogja pancen oye, kata dalang ki Manteb. Jogja never ending Asia, kata Sri Sultan. Dan kata orang Betawi dengan nada setengah ngiri: "Becak Jogja kagak ade matinye, ni yeee…"
Berwisata ke Jogja, kurang afdol kalau tidak kiya kiya berbecak ria raun raun kota. Bener lho. Bahkan sekarang dengan ongkos yang super murah kita sudah akan dikelilingkan oleh pak becak ke berbagai toko cenderamata, toko batik, toko buah tangan dsb. yang tersebar di seantero Jogja. Tentang hal itu ada seorang turis mancanegara, Lemaire namanya, yang mengamati dan menulis begini:
"Saya selalu bertanya tanya mengapa tukang becak di sekitar Kraton lebih ramah daripada tukang tukang becak yang lain, dan menawarkan layanan mereka seharga hanya Rp1.000,00, Kenyataannya adalah tukang tukang becak ini dapat membawa para turis ke berbagai toko yang berbeda, dan di sana mereka mendapatkan komisi dari setiap barang yang dibeli oleh sang turis. Uang yang mereka dapatkan dari komisi ini biasanya lebih tinggi daripada ongkos becak sesungguhnya. Sistem komisi ini pun ada pada skala yang lebih tinggi: beberapa tukang becak, yang bekerja di sekitar Sosrowijaya pada malam hari, "mampu membaca mata lelaki", dan membawa para lelaki ini ke rumah rumah bordil di "SARKEM" di sekitar situ. Mereka biasanya menerima komisi sebesar Rp30.000,00 untuk setiap klien yang mereka bawa."
Nah, sekarang baru ketahuan bahwa ternyata dimungkinkan adanya hasil "sampingan" yaitu komisi, tip ataupun bingkisan, yang lumayan dari kerja narik becak di Jogja. Sehingga kita tidak perlu heran kala menyaksikan seorang tukang becak yang berwajah cerdas, berkostum pantas, berkalung handphone, punya alamat email ataupun face book dan bahasa Inggris serta Belandanya cas cis cus. Itulah dia profil si abang pemandu "becak wisata" masa kini. Citra lama sosok tukang becak yang kusut, kumuh, susah, menderita, tak berpendidikan, tak berketrampilan dsb, luruh sudah. Digantikan oleh para mas mas (atau nantinya juga mbak mbak?) tukang becak yang piawai memandu para pelancong lokal maupun interlokal. (Saxjannya tipe tukang becak yang merangkap jadi guide itu lebih cocok lho kalau dijuluki "Gaet Genjot". He he…. ).
Dan tempo hari sewaktu saya dari Jakarta tiba di stasiun Jogya saya sempat merasakan keramahan salah seorang mas tukang becak itu. Ditengah kerumunan para tukang becak yang menawarkan jasa, saya mendengar sapaan menggelikan.
"Pakde, pakai becak saya saja, ditanggung pasti tidak digigit nyamuk." Saya tertarik, mendekat dan bertanya:"Lho apa hubungannya naik becak dengan digigit nyamuk?"
"Soalnya becak saya pakai tiga roda," jawabnya sembari menyanyi lucu sekali: "Nyamuk sini cuma takut tiga roda, toret toret…." "Wah tukang becak ini pasti terlalu sering nonton iklan obat nyamuk" batin saya.
"Yo wis ayo tarik. Menyang Keraton piro? Seket ewu yo". kata saya . "Lah, kebanyakan Pakde" katanya. "Yo gak apa. Sepuluh ewu dinggo mbayar mbecake, patang puluh ewu dinggo dagelane". Dan kami berduapun tertawa ngkik3x.
Tujuh belas menit kemudian sampailah saya ke tempat tujuan, yaitu Keraton Jogja.
Wis ngono wae…
(Studi dari berbagai sumber).
Ingin kenal lebih jauh dengan becak? Silahkan mampir ke blog saya yang lain,
http://cafebecakjogja.blogspot.com/
Sugeng Rawuh
Selasa, 02 Maret 2010
Jumat, 05 Februari 2010
PUISI SANG PUTRI
Karena Ayahku
Oleh:
Inayah Wulandari Wahid,
Kalau Aku adalah Orang Yang Peduli
Karena Ayahkulah Yang Mengajari
Kalau Aku adalah Orang Yang Toleran
Karena Ayahkulah Yang Mencontohkan
Kalau Aku adalah Orang Yang Penuh Cinta Kasih
Karena Ayahkulah Yang Memberi Tanpa Pamrih
Kalau Aku Adalah Orang Yang Rendah Hati
Karena Ayahkulah Yang Menginspirasi
Kalau Aku Menulis Puisi Ini
Karena Ayahkulah Segalanya yang Berarti
(Inayah adalah putri keempat Gus Dur).
Oleh:
Inayah Wulandari Wahid,
Kalau Aku adalah Orang Yang Peduli
Karena Ayahkulah Yang Mengajari
Kalau Aku adalah Orang Yang Toleran
Karena Ayahkulah Yang Mencontohkan
Kalau Aku adalah Orang Yang Penuh Cinta Kasih
Karena Ayahkulah Yang Memberi Tanpa Pamrih
Kalau Aku Adalah Orang Yang Rendah Hati
Karena Ayahkulah Yang Menginspirasi
Kalau Aku Menulis Puisi Ini
Karena Ayahkulah Segalanya yang Berarti
(Inayah adalah putri keempat Gus Dur).
Rabu, 30 Desember 2009
GUS DUR, dalam kenangan
Meski Gus Dur kini tiada namun guyonannya masih lekat dikepala. Ini salah satunya:
TAKUT ISTRI
Memberikan contoh dengan lelucon adalah kebiasaan Gus Dur ketika berpidato. Tujuannya, kata kyai ini agar hadirin dapat memahami maksud dari apa yang disampaikan.
Dalam sebuah forum yang membahas soal kesetaraan laki-laki dan perempuan, seorang peserta bertanya kepada kyai eksentrik ini, yang isinya mungkin agak “pribadi.”
Peserta itu bertanya, apakah Kyai sebesar Gus Dur juga takut pada istri? Mendengar pertanyaan yang “sensistif” itu Gus Dur menjelaskan dengan “bijak” (jika tidak mau disebut berkelit.
“Begini ya….. Saya punya cerita,” kata Gus Dur memulai, sementara peserta sudah siap-siap dengan serius mendengarkan jawaban tentang “jeroan” rumah tangga Gus Dur.
“Nanti di akhirat, orang dibagi dua barisan,”
Gus Dur melanjutkan,”barisan pertama untuk orang-orang yang takut sama istrinya. Barisan kedua untuk yang berani sama istrinya.”
Peserta seminar yang tadinya serius, langsung dapat menerka ini pasti guyonan.
“Di barisan pertama orang antri berduyun-duyun. Ternyata di barisan kedua cuma ada satu orang, badanya kecil lagi. Orang-orang di barisan pertama heran melihat si kecil itu sendirian. Mereka pikir berani sekali tuh orang. Lalu dikirimlah delegasi dari barisan pertama untuk menanyakan. Datanglah delegasi itu pada si kecil dan bertanya, “hey kamu kok berani banget baris sendirian disini, emangnya kamu nggak takut sama istri kamu?”
Mendengar pertanyaan itu, si kecil menjawab “Wah…. saya juga nggak tahu nih. Saya disini disuruh istri saya.”
"Ha ha ha...", kontan seluruh peserta terbahak.
TAKUT ISTRI
Memberikan contoh dengan lelucon adalah kebiasaan Gus Dur ketika berpidato. Tujuannya, kata kyai ini agar hadirin dapat memahami maksud dari apa yang disampaikan.
Dalam sebuah forum yang membahas soal kesetaraan laki-laki dan perempuan, seorang peserta bertanya kepada kyai eksentrik ini, yang isinya mungkin agak “pribadi.”
Peserta itu bertanya, apakah Kyai sebesar Gus Dur juga takut pada istri? Mendengar pertanyaan yang “sensistif” itu Gus Dur menjelaskan dengan “bijak” (jika tidak mau disebut berkelit.
“Begini ya….. Saya punya cerita,” kata Gus Dur memulai, sementara peserta sudah siap-siap dengan serius mendengarkan jawaban tentang “jeroan” rumah tangga Gus Dur.
“Nanti di akhirat, orang dibagi dua barisan,”
Gus Dur melanjutkan,”barisan pertama untuk orang-orang yang takut sama istrinya. Barisan kedua untuk yang berani sama istrinya.”
Peserta seminar yang tadinya serius, langsung dapat menerka ini pasti guyonan.
“Di barisan pertama orang antri berduyun-duyun. Ternyata di barisan kedua cuma ada satu orang, badanya kecil lagi. Orang-orang di barisan pertama heran melihat si kecil itu sendirian. Mereka pikir berani sekali tuh orang. Lalu dikirimlah delegasi dari barisan pertama untuk menanyakan. Datanglah delegasi itu pada si kecil dan bertanya, “hey kamu kok berani banget baris sendirian disini, emangnya kamu nggak takut sama istri kamu?”
Mendengar pertanyaan itu, si kecil menjawab “Wah…. saya juga nggak tahu nih. Saya disini disuruh istri saya.”
"Ha ha ha...", kontan seluruh peserta terbahak.
GUS DUR WAFAT
Innallilahi wainnallillahi rojiun
Berita dari televisi, telah wafat Gus Dur, tadi pukul 18.45 WIB.
Selamat Jalan Gus...
Tentang Gus Dur:
Nama : Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Kelahiran : Putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri.
Istri : Sinta Nuriyah
Anak : Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Kehidupan : Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Hobi : Membaca, bermain bola, menonton bioskop, catur dan musik.
Pengalaman Pendidikan :
• Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar mengaji dan membaca al-Qur’an pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an.
• Disamping belajar formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
• Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
• Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah.
• Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.
• Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad sampai tahun 1970.
• Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Perjalanan Karier :
• Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah.
• Pernah menjadi komentator sepak bola di televisi.
• Sepulang dari pengembaraanya mencari ilmu, Pada tahun 1971, Gus Dur kembali ke Jombang dan menjadi guru di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang.
• Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris.
• Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU.
• Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 -1987.
• Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo.
• Ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999.
• Presiden Republik Indonesia masa bakti 1999 – 2001
Penghargaan :
• Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
• Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
• Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
• Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
• Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
• Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
• Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
• Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
• Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
• Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
• Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
• Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
• Medals of Valor, sebuah penghargaan bagi personal yang gigih memperjuangkan pluralisme dan multikulturalisme, diberikan oleh Simon Wieshenthal Center (yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM dan toleransi antarumat beragama), New York, 5 Maret 2009.
• Penghargaan nama Abdurrahman Wahid sebagai salah satu jurusan studi Agama di Temple University, Philadelphi, 5 Maret 2009.
• Dll.
(Diolah : dari berbagai sumber…)
Minggu, 27 Desember 2009
Sumpah "demi Allah"
Seorang teman berkata:
Sumpah-sumpahan atas nama Tuhan bukan barang baru di Republik Indonesia. Upacara pelantikan pejabat mana pun, dari paling atas sampai paling rendah, selalu ada sumpahnya. "Demi Allah". "Demi Tuhan". "Demi Sang Hyang Widhi". "Demi Thian Penguasa Langit". Rohaniwan selalu dilibatkan sebagai pendamping dan pembawa kitab suci.
Tapi apa yang terjadi? Adakah sumpah "demi Allah" itu lantas membuat Indonesia bebas korupsi? Bebas suap? Bebas pemerasan? Pejabatnya amanah? Polisi, jaksa, hakim tidak menyalahgunakan kekuasaan?
Bandingkan dengan Tiongkok, negara berpenduduk 1,3 miliar yang komunis dan ateis. Sumpah demi Allah tidak dikenal di Tiongkok.
Kok Tiongkok bisa memberantas korupsi dengan efektif? Kok Tiongkok bisa memberlakukan sanksi hukum yang tegas kepada koruptor, termasuk hukuman mati? Kita, bangsa Indonesia, layak malu. Masak, kita yang membawa-bawa nama Tuhan kalah bermoral dengan mereka yang komunis dan ateis itu?
Piye Jal?
Papilon.
Papiray komentar:
Benar, tidak semua orang yang mengaku "takwa" kepada Tuhan adalah orang yang menghormati sesamanya.
Kelihatannya ada orang yang melaksanakan perintah perbuatan kebaikan (ethical principles) dan ada orang yang hanya bicara tentang akan melakukan perbuatan kebaikan.
Yesus pun berkata, lebih baik orang yang berkata "aku tidak akan melakukan perbuatan yang diperintahkan" tetapi akhirnya melakukan perbuatan baik itu tanpa janji-janji, daripada orang yang berkata "ya, Tuhan, aku akan melakukannya" tetapi tidak pernah berbuat yang dijanjikannya.
Demikian juga dengan sumpah, sumpah bahkan dilarang dalam Kitab Suci, "jangan bersumpah atas namaKu", karena kebanyakan akan berdusta dan sekaligus menghina nama Tuhan.
Sumpah-sumpahan atas nama Tuhan bukan barang baru di Republik Indonesia. Upacara pelantikan pejabat mana pun, dari paling atas sampai paling rendah, selalu ada sumpahnya. "Demi Allah". "Demi Tuhan". "Demi Sang Hyang Widhi". "Demi Thian Penguasa Langit". Rohaniwan selalu dilibatkan sebagai pendamping dan pembawa kitab suci.
Tapi apa yang terjadi? Adakah sumpah "demi Allah" itu lantas membuat Indonesia bebas korupsi? Bebas suap? Bebas pemerasan? Pejabatnya amanah? Polisi, jaksa, hakim tidak menyalahgunakan kekuasaan?
Bandingkan dengan Tiongkok, negara berpenduduk 1,3 miliar yang komunis dan ateis. Sumpah demi Allah tidak dikenal di Tiongkok.
Kok Tiongkok bisa memberantas korupsi dengan efektif? Kok Tiongkok bisa memberlakukan sanksi hukum yang tegas kepada koruptor, termasuk hukuman mati? Kita, bangsa Indonesia, layak malu. Masak, kita yang membawa-bawa nama Tuhan kalah bermoral dengan mereka yang komunis dan ateis itu?
Piye Jal?
Papilon.
Papiray komentar:
Benar, tidak semua orang yang mengaku "takwa" kepada Tuhan adalah orang yang menghormati sesamanya.
Kelihatannya ada orang yang melaksanakan perintah perbuatan kebaikan (ethical principles) dan ada orang yang hanya bicara tentang akan melakukan perbuatan kebaikan.
Yesus pun berkata, lebih baik orang yang berkata "aku tidak akan melakukan perbuatan yang diperintahkan" tetapi akhirnya melakukan perbuatan baik itu tanpa janji-janji, daripada orang yang berkata "ya, Tuhan, aku akan melakukannya" tetapi tidak pernah berbuat yang dijanjikannya.
Demikian juga dengan sumpah, sumpah bahkan dilarang dalam Kitab Suci, "jangan bersumpah atas namaKu", karena kebanyakan akan berdusta dan sekaligus menghina nama Tuhan.
Sabtu, 26 Desember 2009
FILTER HOLDER, solusi smart merokok sehat
Salah seorang sahabat pena, menulis: “Ayahku meninggal karena kanker disebabkan oleh kegemarannya minum rokok”. Tulisan itu telah merangsang saya untuk kemudian memikirkan adakah cara minum rokok yang aman? Dan untuk menemukan jawabannya, saya gelar beberapa informasi, data dan fakta yang terkait seperti dapat kita pelajari bersama di bawah ini. Dan ternyata dari info yang secuil itu kita sudah bisa menemukan apa yang kita cari, yaitu solusi untuk merokok dengan lebih safe, lebih aman.
Jampi stress dan bikin rilek, itulah antara lain alasan untuk tetap merokok yang kerap terlontar dari bibir para perokok. Walau dihadapkan dengan 1001 macam bahayanya, tetap saja perokok klepas klepus…, ngrokok. Dan kitapun perlu memaklumi, karena bagi yang kadung cinta rokok, tentulah tidak mudah untuk menceraikannya, untuk berhenti merokok.
Kita bisa memaklumi alasan para perokok, namun dibalik itu muncul keprihatinan yang mendalam, terutama kalau melihat cara perokok Indonesia merokok rokok kretek yang dibuat secara manual dan tradisional, yakni tanpa dipasangi filter. Bagaimana tidak, batang rokok2 kretek itu langsung diselipkan dibibir, disulut dan diisap begitu saja…, sap sap saaaap. Ya, rokok kretek non filter, rokok kretek tanpa filter penyaring tar itu diisap dalam2 dengan penuh semangat, saban hari sejak dulu hingga nanti.
Tar atau biasa juga disebut “lelet” itu sendiri merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan bisa menempel dimana mana termasuk diparu-paru dan bisa bikin penyakit ini dan itu. Dengan mudah kita bisa melihat seperti apa rupa tar itu. Jari2 tangan perokok yang menguning semu coklat, gigi yang menguning, lidah yang kecoklatan dan bibir yang tidak lagi berwarna segar tapi berwarna sawo bosok, itu semua adalah gara2 tar. Dan pada tar itulah terutama terkandung bahaya besar dari rokok. Itu kata para dokter yang memang terkenal pinter2.
Tapi lain kata dokter lain pula kata perokok Indonesia. Bagi sebagian perokok Indonesia justru tar atau lelet itulah yang dianggap dan dipandang sebagai sari nikmatnya rokok, menjadi sebangsa candunya rokok. Ini tidak bohong, pendapat seperti ini saya dengar langsung dari beberapa perokok kretek. “Rokok telanjang beginian enak mas. Kalau pakai filter jadi kurang berasa, kurang mantab gitu loh…” kata mereka.
Padahal di negara maju, seperti di Amerika dan Eropa misalnya, semua perokok sudah biasa merokok dengan menggunakan filter pengaman. Mereka melakukannya sudah sejak 60 tahun lalu. Dengan memakai filter, mereka merasa lebih aman untuk merokok karena sebagian besar tar yang berbahaya bagi kesehatan itu bisa tersaring. Dan tentang filter itu mereka punya pengalaman serta kesaksian: ”Filter, cut the tar…, keep the taste” Atau juga:”Reduce tar without reducing taste”. Ya, mereka telah membuktikan bahwa filter rokok berhasil berfungsi memerangkap sebagian besar tar tapi tidak terlalu mempengaruhi aroma dan rasa rokok.
Tak bisa dibantah, rokok kretek memang terkenal di Indonesia, banyak sekali penggemarnya. Dan rokok kretek ini di produksi oleh pabrik2 rokok berskala raksasa.. Ya, mereka memproduksi rokok jenis ini yang dikenal pula dengan julukan Sigaret Kretek Tangan atau SKT, maksudnya sigaret kretek yang dibuat bukan oleh mesin pelinting otomatis melainkan oleh tangan para buruh linting. Industri SKT ini merupakan industri padat karya, menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan tenaga kerja Indonesia, sehingga dipelihara dan juga dimanja oleh pemerintah. Sayangnya, sigaret kretek tangan ini, entah karena alasan apa, dibuat tak berfilter alias non filter. Dan dengan kekuatan iklannya, perusahaan2 besar itu mempersilahkan jutaan penggemarnya untuk mengkonsumsinya…, begitu saja. Ini membuat kesan bahwa para produsen rokok itu, yang kini pemiliknya menjadi orang2 terkaya, sungguh2 tidak peduli atas keamanan produknya dan tidak peduli pada kesehatan konsumennya. Dipikirnya, dengan memasang kolom peringatan akan bahayanya merokok, itu saja sudah cukup. Dan kita yang mengamati hal itu menjadi sebal: “Ini apa2 an? Emangnya tidak ada cara bagaimana membuat produk rokok kretek yang meskipun dibuat tak berfilter namun tetap aman untuk dirokok?”
Ah, sudahlah barangkali mereka kelewat sibuk menghitung laba. Dan kalau mereka enggan memikirkannya, ya kita sajalah yang mencoba mencari solusi, mencari jalan bagaimana caranya agar rokok dan merokok itu bisa lebih aman. Gitu aja kok repot…
Dan inilah hasil pemikiran yang semoga dapat menjadi solusi.
Menurut saya, sigaret kretek non filter buatan tangan itu akan lebih aman dikonsumsi jika perokok menggunakan PIPA SIGARET FILTER HOLDER atau sebut saja PIPA SIGARET, atau SIGARET HOLDER, atau SIGARET FILTER HOLDER atau FILTER HOLDER.
Benda itu bukan benda asing bagi saya. Selama ini Pipa Sigaret atau Sigaret Filter Holder itu (modelnya seperti dalam gambar), sudah saya kenal, bahkan juga sudah saya pasarkan lewat Kedai Mbako Tingwe, namun masih dalam kategori sebagai asesoris rokok saja.
Tapi sekarang, setelah mengenal dengan lebih baik duduk perkaranya, saya harus katakan bahwa SIGARET FILTER HOLDER itu bukan lagi sekedar asesoris rokok belaka melainkan sudah harus menjadi “Barang Kebutuhan Pokok Bagi Perokok!” Dan sama halnya dengan seseorang yang kecanduan rokok, tidak bisa lepas dari rokok, Sigaret Filter Holder inipun harus bisa menjadi sahabat setia bagi para penggemar rokok Indonesia.
Memang sih, bukan soal mudah untuk dapat mensosialisasikan penggunaan Sigaret Filter Holder ini, namun tetap saja saya terpanggil untuk melakukannya sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama rekan perokok.
Dan siapa yang nyana, ternyata dibalik kata “kepedulian” itu tersembunyi pula “potensi bisnis Sigaret Filter Holder”. Ya, bisnis Sigaret Filter Holder ini sangat potensial untuk dapat dikembangkan menjadi sangat besar, yaitu ketika semua perokok atau sebagian besar perokok sudah bersedia menggunakannya demi keamanan merokok.
Gitu deh…
Jampi stress dan bikin rilek, itulah antara lain alasan untuk tetap merokok yang kerap terlontar dari bibir para perokok. Walau dihadapkan dengan 1001 macam bahayanya, tetap saja perokok klepas klepus…, ngrokok. Dan kitapun perlu memaklumi, karena bagi yang kadung cinta rokok, tentulah tidak mudah untuk menceraikannya, untuk berhenti merokok.
Kita bisa memaklumi alasan para perokok, namun dibalik itu muncul keprihatinan yang mendalam, terutama kalau melihat cara perokok Indonesia merokok rokok kretek yang dibuat secara manual dan tradisional, yakni tanpa dipasangi filter. Bagaimana tidak, batang rokok2 kretek itu langsung diselipkan dibibir, disulut dan diisap begitu saja…, sap sap saaaap. Ya, rokok kretek non filter, rokok kretek tanpa filter penyaring tar itu diisap dalam2 dengan penuh semangat, saban hari sejak dulu hingga nanti.
Tar atau biasa juga disebut “lelet” itu sendiri merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan bisa menempel dimana mana termasuk diparu-paru dan bisa bikin penyakit ini dan itu. Dengan mudah kita bisa melihat seperti apa rupa tar itu. Jari2 tangan perokok yang menguning semu coklat, gigi yang menguning, lidah yang kecoklatan dan bibir yang tidak lagi berwarna segar tapi berwarna sawo bosok, itu semua adalah gara2 tar. Dan pada tar itulah terutama terkandung bahaya besar dari rokok. Itu kata para dokter yang memang terkenal pinter2.
Tapi lain kata dokter lain pula kata perokok Indonesia. Bagi sebagian perokok Indonesia justru tar atau lelet itulah yang dianggap dan dipandang sebagai sari nikmatnya rokok, menjadi sebangsa candunya rokok. Ini tidak bohong, pendapat seperti ini saya dengar langsung dari beberapa perokok kretek. “Rokok telanjang beginian enak mas. Kalau pakai filter jadi kurang berasa, kurang mantab gitu loh…” kata mereka.
Padahal di negara maju, seperti di Amerika dan Eropa misalnya, semua perokok sudah biasa merokok dengan menggunakan filter pengaman. Mereka melakukannya sudah sejak 60 tahun lalu. Dengan memakai filter, mereka merasa lebih aman untuk merokok karena sebagian besar tar yang berbahaya bagi kesehatan itu bisa tersaring. Dan tentang filter itu mereka punya pengalaman serta kesaksian: ”Filter, cut the tar…, keep the taste” Atau juga:”Reduce tar without reducing taste”. Ya, mereka telah membuktikan bahwa filter rokok berhasil berfungsi memerangkap sebagian besar tar tapi tidak terlalu mempengaruhi aroma dan rasa rokok.
Tak bisa dibantah, rokok kretek memang terkenal di Indonesia, banyak sekali penggemarnya. Dan rokok kretek ini di produksi oleh pabrik2 rokok berskala raksasa.. Ya, mereka memproduksi rokok jenis ini yang dikenal pula dengan julukan Sigaret Kretek Tangan atau SKT, maksudnya sigaret kretek yang dibuat bukan oleh mesin pelinting otomatis melainkan oleh tangan para buruh linting. Industri SKT ini merupakan industri padat karya, menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan tenaga kerja Indonesia, sehingga dipelihara dan juga dimanja oleh pemerintah. Sayangnya, sigaret kretek tangan ini, entah karena alasan apa, dibuat tak berfilter alias non filter. Dan dengan kekuatan iklannya, perusahaan2 besar itu mempersilahkan jutaan penggemarnya untuk mengkonsumsinya…, begitu saja. Ini membuat kesan bahwa para produsen rokok itu, yang kini pemiliknya menjadi orang2 terkaya, sungguh2 tidak peduli atas keamanan produknya dan tidak peduli pada kesehatan konsumennya. Dipikirnya, dengan memasang kolom peringatan akan bahayanya merokok, itu saja sudah cukup. Dan kita yang mengamati hal itu menjadi sebal: “Ini apa2 an? Emangnya tidak ada cara bagaimana membuat produk rokok kretek yang meskipun dibuat tak berfilter namun tetap aman untuk dirokok?”
Ah, sudahlah barangkali mereka kelewat sibuk menghitung laba. Dan kalau mereka enggan memikirkannya, ya kita sajalah yang mencoba mencari solusi, mencari jalan bagaimana caranya agar rokok dan merokok itu bisa lebih aman. Gitu aja kok repot…
Dan inilah hasil pemikiran yang semoga dapat menjadi solusi.
Menurut saya, sigaret kretek non filter buatan tangan itu akan lebih aman dikonsumsi jika perokok menggunakan PIPA SIGARET FILTER HOLDER atau sebut saja PIPA SIGARET, atau SIGARET HOLDER, atau SIGARET FILTER HOLDER atau FILTER HOLDER.
Benda itu bukan benda asing bagi saya. Selama ini Pipa Sigaret atau Sigaret Filter Holder itu (modelnya seperti dalam gambar), sudah saya kenal, bahkan juga sudah saya pasarkan lewat Kedai Mbako Tingwe, namun masih dalam kategori sebagai asesoris rokok saja.
Tapi sekarang, setelah mengenal dengan lebih baik duduk perkaranya, saya harus katakan bahwa SIGARET FILTER HOLDER itu bukan lagi sekedar asesoris rokok belaka melainkan sudah harus menjadi “Barang Kebutuhan Pokok Bagi Perokok!” Dan sama halnya dengan seseorang yang kecanduan rokok, tidak bisa lepas dari rokok, Sigaret Filter Holder inipun harus bisa menjadi sahabat setia bagi para penggemar rokok Indonesia.
Memang sih, bukan soal mudah untuk dapat mensosialisasikan penggunaan Sigaret Filter Holder ini, namun tetap saja saya terpanggil untuk melakukannya sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama rekan perokok.
Dan siapa yang nyana, ternyata dibalik kata “kepedulian” itu tersembunyi pula “potensi bisnis Sigaret Filter Holder”. Ya, bisnis Sigaret Filter Holder ini sangat potensial untuk dapat dikembangkan menjadi sangat besar, yaitu ketika semua perokok atau sebagian besar perokok sudah bersedia menggunakannya demi keamanan merokok.
Gitu deh…
Senin, 30 November 2009
B & S SAXOPHONE
TRADITION & INNOVATION
Unlike any other area, the saxon region of Vogtland looks back on over a 100 years of tradition in the development and manufacturing of wind instruments. The first german saxophone was built in 1901 in Markneukirchen , and by the 1920`s, Hüller saxophones were being sold all over the world. During the times of the old east Germany (GDR), the majority of the vogtl. Saxophone manufactures were brought together to form the VEB Blechblas- und Signal-Instrumenten-Fabrik. Today, this tradition lies in the hands of Vogtländische Musikinstrumentenfabrik GmbH , who as well as continuing the handcraft traditions, also works towards
Alto-Saxophone "Hüller" ca. 1930
Alto-Saxophone B&S 2001 1998
developing new and innovative ideas together with leading saxophone players and specialists from around the world.
Unlike any other area, the saxon region of Vogtland looks back on over a 100 years of tradition in the development and manufacturing of wind instruments. The first german saxophone was built in 1901 in Markneukirchen , and by the 1920`s, Hüller saxophones were being sold all over the world. During the times of the old east Germany (GDR), the majority of the vogtl. Saxophone manufactures were brought together to form the VEB Blechblas- und Signal-Instrumenten-Fabrik. Today, this tradition lies in the hands of Vogtländische Musikinstrumentenfabrik GmbH , who as well as continuing the handcraft traditions, also works towards
Alto-Saxophone "Hüller" ca. 1930
Alto-Saxophone B&S 2001 1998
developing new and innovative ideas together with leading saxophone players and specialists from around the world.
Langganan:
Postingan (Atom)