Sugeng Rawuh


free counter

Senin, 12 Oktober 2009

Panggil aku..., Sotiniwati


Sekarang, nama Tini, Tono atau Wenas bukan lagi milik orang Jawa atau Manado, tetapi juga milik WNI keturunan Tionghoa. Lho kok begitu? Gimana ceritanya?

Ya, kisah tentang nama2 baru bagi WNI keturunan Tionghoa itu bermula dari adanya keputusan pemerintah No. 127/U/Kep/12/1966. Peraturan tersebut mengenai penggantian nama Tionghoa yang terdiri dari tiga suku terpisah menjadi nama bercirikan Indonesia, untuk tujuan percepatan proses asimilasi kala itu.

Peraturan itu ditaati hampir oleh semua WNI keturunan Tionghoa, tetapi ada juga sih yang tetap mempertahankan nama Tionghoanya, misalnya Kwik Kian Gie. Peraturan tersebut memang tidak memuat sanksi apabila seorang WNI keturunan Tionghoa tidak mentaati. Jadi suka2 aja…

Dalam mencari nama baru atau nama Indonesia itu setiap orang tentu mempunyai alasan pribadi yang meskipun tidak penting bagi orang lain tapi ternyata menarik juga lho untuk diketahui.

Dari sebuah riset ala kadarnya yang dilakukan oleh seseorang (maaf lupa nama), terhadap sejumlah data, atau tepatnya terhadap 810 pasang nama Tionghoa (NT) dan nama Indonesia (NI), yang diambil dari berita duka di salah sebuah harian Ibukota dapat diketahui hal2 sbb:.

Masih cukup banyak orang Tionghoa yang mencantumkan NT nya, terutama mereka yang berusia 50 tahun ke atas (baik yang almarhum maupun kerabatnya). Tapi pada tingkat cucu dan cicit, tidak ada lagi NT itu tercantum.

NI yang dipilih dapat dibedakan atas tujuh kelompok berikut:
1. Nama keluarga dipertahankan sebagaimana adanya. Ada nama keluarga yang dicantumkan di muka, ada yang di belakang, seperti Ng Soesilo Gunawan (Ng Sien Fa), Suherman Thio (Thio Soe Tong), Ng Hadi Santoso Soesilo, Ng Hendra Soesilo, Ng Yulie Indrawati, Ng Vinna Indrawati. Terdapat juga usaha mempertahankan suku lain dengan penyesuaian grafis, seperti Tan Samsudin Anwar (Tan Seng An), Arifin Tjhai (Tjhai Kim Phin) dsb.

2. Nama keluarga dipertahankan sebagaimana adanya, menjadi suku pertama yang digabung dengan suku lain. seperti: Loekito (Loe), Gondo (Go), Tanamal(Tan), Tjokro (Tjo), Soeganda (Soe), Narmawan (Na), Hadisurya (Ha), Sofian (So), Pangestu (Pang), Sungkono (Sung), Gandamiharja (Gan), Lokasari,(Lo), Yapina (Yap), Chendana (Chen), Limawan (Lim), Angwar (Ang), Oenkiriwang (Oen), Lauwidjaja, Lauwita (Lauw).

3. Nama keluarga dipertahankan secara fonetis sebagai suku pertama dalam NI dengan penyesuaian grafis dan digabung dengan suku lain. Contoh untuk kategori ini: Widjaja, Winata, Widagdo, Wiharto, Widianingsih, Widodo, Wikarta, Widjoseno, Wibowo, Wiharja (Oey), Wibawa (Whie), Hidayat (Hie), Kusnadi, Kurnia, Kusiana (Khoe), Teja, Tejamulia (The), Chandra, Tjandra (Chen, Tjan), Kosasih (Kho), Djohan (Jo), Anggraeni (Ang), Tanti (Tan) Tamin (Tham), Leman (Lie).

Pada kelompok ini tampak bahwa suku kata wi cukup produktif dalam pembentukan NI yang lazim. Ada beberapa nama yang terasa berbeda dengan NI pada umumnya, misalnya Lohananta, Lohanda (Loa), Mercu Buwono (Tjung), Tamira (Tham), Lisan, Libriyani (Lie); Tandri, Tanu, Tandra (Tan).

4. Nama keluarga dipertahankan pada suku kedua atau ketiga NI dengan penyesuaian grafis. Contoh untuk kategori ini adalah Susilo, Pranolo (Lo), Halim, Salim (Lim, Liem), Muliana, Rusli, Muslina, Ali, Mulia, Darmali (Lee, Lie), Hartanti, Hartanto, Sutanto, Intan, Kristanto (Tan), Prasetio, Susantio (Thio), Sugimin (Gim), Sukowidono (Wie), Otong (Ong), Supandi (Phan), Wigono (Go), Nawangwulan (Wang), Suyapto (Yap), Supangat (Pang), Sulim (Lim), Aly, Taruli (Lie).

5. Dua suku NT dipertahankan pada NI dengan penyesuaian grafis. Salah satu suku dapat merupakan nama keluarga, seperti Sotiniwati (Lie So Tin), Suwandi Kosim (Kho Chuan Suan), Asnawi Halim (Lim Thian Wie), Setyo Setiawan (Thio She Wen), Meilina Hardjali (Lie Mei Ling), Firmansyah Aluwi (Liauw Yuk Tjong), Pikman Wibisono (Oei Wie Pik), Tanin Djuhari (Tan Tek Djoe).

6. Salah satu NT (bukan nama keluarga) dipertahankan . Ada nama yang memang sesuai dengan ejaan NI seperti Sukidjan (Tjo Tiang Djan), Landriyati (Tjo Giok Lan), Iping Jaya (Kang Siu Ping). Ada nama yang ditulis dengan penyesuaian grafis, misalnya Wirya Sentoso (Gim Wei I), Suhita Tandra (Tjhin Men Sui), Leonard Sailan (Lim Tjing Say).

7. NT tidak terlihat lagi dalam NI. Nama yang dipilih pada umumnya NI yang lazim, yang diambil dari kitab suci atau nama yang berciri Barat. Contohnya: Hendrik Irawan (Lay Foek Nam), Suryadi Sunarso (Tjoa Bun Seng), Diany Agustin (Tjoa Kiok Nio), Asam Basrie (Hiu Nen Kiong), Dwiratna Suhardjo (Oen Tjuk Yoen), Harum Budiningsih (Oey Kwie Hiang), Yohanes Hidayat (Lie King Heng), Fransisca (Pang Siang Nio), Thomas Budiman (Chuang Sin Fat), Henoch Setiawan (Lauw Tjoei Hin), Claudia Christina (Tan Moei Tjin ), Brian Herabadi (The Eng Goan), Hendrik Irawan (Lay Foek nam), Jenny Andelma (Thian Khai Shien).

Ada juga sih, beberapa nama yang dirasakan kurang lazim, seperti Budi Sawahanto (Thian Jie Jim), Thomas Nagazaki (Liong Tjoen Hian), Freddy Baguna (Ong Boen Hong), Petrus Otto Toindo (Ang Sioe Leng). Sebaliknya, ditemukan nama keluarga terkenal, seperti Melani Iskandar Dinata (Tan Beng Giok), G. Th. Mangundap (Thio Giok Tjioe), George Wenas (Jan Khik Kay). Memang terbuka kemungkinan bahwa sebuah keluarga Indonesia memberikan nama keluarganya untuk orang keturunan Tionghoa.

Ada hal yang menarik yakni penambahan nama wati (yang dianggap sebagai ciri keindonesiaan) dilakukan tanpa memperhatikan keserasian, seperti pada Hildawati, Pingkowati, Sotiniwati, Mariawati, Luciawati, Ellywati.

Weh…, ternyata bikin nama untuk diri sendiri tidak gampang ya. Biasanya kita cuma dikasih sama ortu sih, begitu lahir jebret…, lalu dinamain. Kita cukup pasrah saja meski nama kita itu Helly atau Pleki, misalnya.

Gitu deh…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar