Sugeng Rawuh


free counter

Kamis, 01 Oktober 2009

Potret Jaman Edan, Polisi Tidur

Soal Polisi Tidur, semua kita juga tahu. Itu lho, aral yang melintang-lintang di jalanan kelas kambing. Olehnya kita, para pengendara kendaraan, dihardik seolah kita ini pengendara yang tidak tahu diri, ngebut di jalan kampung seenak udel sendiri. Olehnya kita dipaksa untuk melambatkan laju kendaraan. “Nah, begitu! Ini jalan milik publik, banyak orang lalu lalang dan banyak anak-anak bermain”. Begitu kira-kira pesannya.

Tapi apakah betul kita ini pengemudi tak tahu diri? Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Yang pasti kita telah diprotes..., dengan polisi tidur itu. Makin keras bentuk protes, makin nungging tidurnya dan semakin rapat jarak satu sama lainnya. Dikala melintas, rasanya..., gajluk-gajluk..., sangat menyebalkan.

Seandainya para pelintas tahu diri, tentu tak akan ada protes seperti itu, tentu tak akan ada polisi tidur. Tapi nyatanya..., ada banyak polisi tidur dibuat dan ada di mana-mana.

Dari keberadaan polisi tidur, kita dapat menangkap gambaran betapa rusaknya basis hidup bersama yang seharusnya mengandaikan adanya kesadaran masing-masing warganya untuk tahu aturan. Dan ketika perkara baik-buruk, benar-salah tidak lagi digubris, itulah jaman yang dinamakan jaman edan, jaman kalatida, kata seniman WS Rendra.

Polisi tidur, juga mengungkapkan bahwa tidak ada lagi kepercayaan atas kesadaran masing-masing warga. Semua orang dianggap kunyuk yang tidak tahu diri dan aturan, maka perlu dipaksa supaya sadar aturan.

Tapi mengapa bisa terjadi krisis seperti itu, krisis etika, tata nilai dan akal sehat? Apakah karena pendidikan “budi pekerti” yang terabaikan selama puluhan dasa warsa? Atau karena tidak ada lagi contoh teladan, tidak ada guru keteladanan?

Sekali lagi menurut WS Rendra, erosi tata nilai terjadi di segala lapisan, atas dan bawah. Kini tak ada lagi atau tipis nurani moral untuk mengambil keputusan baik bagi diri sendiri maupun sesama. Aneka bentuk pemaksaan alias main hakim sendiri sangat kerap terjadi. Apa memang sudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap hakim/hukum? Hampir setiap hari kita mendengar berita tentang praktek itu.

Mau diatasi dengan menelorkan lagi banyak aturan? Saya pikir bukan ini solusinya. Semakin banyak aturan akan semakin banyak pula pelanggaran lewat celah-celahnya. Demikian seterusnya sehingga kita akan terjebak dalam urusan membuat hukum dan aturan tetapi tidak membereskan akar permasalahannya, yaitu moralitas!

“Sadar dan waspada, jangan ikut-ikutan” kata Ronggowarsito. Dan meskipun itu pernyataan jadul namun dalam hal ini beliau sangat benar.

Gitu deh…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar