Sugeng Rawuh


free counter

Rabu, 23 September 2009

MENYULAP HOBI JADI SUMBER REJEKI

Percaya atau tidak, ternyata kalau kita berani, antusias dan tekun, hobi bisa disulap menjadi sumber rejeki, membuat hidup jadi lebih hidup. Hal ini sudah mbah kakung buktikan sendiri. Berikut kisahnya:

Kata orang “Life begins at fourty – Hidup dimulai umur 40”. Memang, pada usia itu manusia umumnya berada dalam fase “tinggal landas” menuju ke puncak karir. Jika kita seorang profesional, di usia itu kita sudah berada di lapis kedua dalam organisasi perusahaan, menjadi manajer menengah. Sudah masuk dalam kelompok “orang inti”, sehingga saat berusia 45-50 kita sudah akan berada di lapis kesatu, Direksi. Begitulah kira2 ukuran standar manusia karir.

Dan menjadi manusia karir, itulah yang dulu mbah kung pernah jalani sejak usia lepas sekolah hingga umur 40 tahun, atau hingga 11 tahun silam. Dulu mbah kung terpaksa “kawin” dengan pekerjaan karena kebutuhan. Meskipun bukan bidang idaman, tetapi mbah kung sambar juga pekerjaan yang ada pada waktu itu. Yang penting kerja dulu, nanti perlahan-lahan cari yang lebih cocok. Sempat juga beberapa kali mbah kung pindah kerja, namun ternyata itu hanya berarti ganti majikan. Tetap saja ada rasa kurang sreg, kurang senang

Tidak ingin terbelenggu lebih lama, mbah kung memilih untuk berhenti berkarir, tepat di usia 40 tahun, disaat peluang menjadi “orang inti” sebenarnya sedang terbuka lebar. “Gila lu, nekat lu”, komentar beberapa teman. Ya, keputusan berhenti bekerja itu barangkali memang terkesan gila dan nekat bagi sebagian orang. Tapi mbah kung punya alasan.

Mbah kung itu demen banget sama alat musik tiup yang namanya saxophone. Tidak hanya senang memainkan tapi juga suka mengumpulkan alias mengkoleksi. Tiada hari tanpa menyentuh benda kelangenan itu. Pulang kerja, yang dibelai bukan anak bini, tapi saxophone. Menjelang tidur yang dikeloni bukan mbah putri tapi saxophone. Sampai2 mbah putri pernah protes, lah kapan aye dielus?

Lantaran hobi, berburu saxophone pun jadi giat. Dari mula2 hanya punya satu, lalu jadi dua, tiga, dan kemudian jadi punya puluhan saxophone. Lho, saxophone khan mahal? Uangnya dari mana? Ya dapet dari saxophone itu sendiri. Satu dijual, lalu belilah dua. Dua dijual, ada untung, belilah tiga. Begitu seterusnya. Lama2 pintar deh mbah kung dan mbah putri ngurusin jual beli benda itu. Mbah ngerti dimana harus mencarinya dan tahu pula bagaimana kudu menjualnya. Jadi selain “berkarir” jadi kacung, mbah kung waktu itu punya usaha sambilan yaitu jual beli saxophone.

Meskipun hanya sambilan, ternyata usaha jual beli saxophone itu menunjukkan prospek yang baik yang sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh, mengingat tidak sedikit orang yang gemar bermain musik. Apalagi musik itu sifatnya universal, tidak hanya konsumen lokal tapi orang mancanegara pun suka. Tidak hanya itu, saxophone dan juga alat musik tiup lainnya itu digemari oleh orang segala usia, tua dan muda, serta oleh pria maupun wanita. Lagipula, generasi baru khan tumbuh terus. Jadi permintaan pun akan senantiasa ada. Kalau soal sumber barang, itu juga bukan perkara sulit. Soalnya Indonesia khan gudangnya alat musik tiup seken, peninggalan jaman Belanda, atau kalau perlu ya import lah yauw.

Yakin dengan semua potensi dan prospek yang ada maka mbah kung tertarik untuk menangani dengan lebih serius, dengan segenap waktu, tenaga dan pikiran. Artinya bukan lagi sebagai usaha sampingan melainkan dijalankan sebagai usaha pokok dan serius. Dan karena usaha ini menyangkut hobi mbah kung, tentu dong bakalan asyik syik.

Berbekal harapan dan bayangan asyiknya itu, dibesarkanlah kemudian “Rumah Tiup”, pusat jual beli alat musik tiup. Dan seperti yang mbah kung dan mbah putri inginkan, Rumah Tiup kini telah dikenal luas oleh khalayak sebagai salah satu (satu2nya?) tempat di Indonesia yang menyediakan aneka jenis alat musik tiup, baru maupun seken, yang harganya murah, berkualitas, kondisinya prima serta mengajari gratis sampai bisa.

Ternyata memang benar, kalau kita mau, hobi bisa disulap menjadi sumber rejeki. Dan sekarang mbah kung sungguh merasa merdeka, merasa santai, bisa selalu berduaan, dan hobipun bisa sangat tersalur. Hidup terasa lebih hidup…

Mbah kung merasa merdeka karena mbah kung kini bukan lagi sekedar kacung tapi majikan bagi diri sendiri yang tidak dihantui oleh perkara PHK maupun perkara pensiun. Merasa santai dan bisa selalu berduaan bersama mbah putri, karena semua usaha dikendalikan dan dilakukan di rumah, jadi tidak perlu ngluyur kemana mana, buang2 waktu di jalanan. Kini ada banyak waktu untuk mengerjakan apapun yang mbah kung senangi, tidak ada yang menekan tidak ada yang melarang.

Dasi kini telah berganti jadi kalung metal dan jam tangan kini telah jadi gelang akar bahar. Kerah putih ala seragam karyawan kini berganti jadi baju setelan hitam hitam. Tampilan berubah total, yang dulu rapi jali kini rapi asli. Rambut yang dulu klimis kini berubah jadi gondrong dhiwut2. Ya, itulah gambaran tulen dari sosok mbah kung yang merdeka. Enak tho, manteb tho…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar