Sugeng Rawuh


free counter

Selasa, 22 September 2009

PKL

Papilon:
Menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) itu pertanda melemahnya perekonomian negara. Keberadaan mereka sama sekali bukan suatu yang membanggakan melainkan suatu simbol kegetiran!

Dan untuk mengaturnya sungguh tidak mudah. Kalau dibiarkan dan tidak diatur mereka akan berbuat seenak udelnya sendiri. Menggelar dagangannya di trotoar bahkan menjorok hingga memakan sebagian badan jalan, merampas hak para pengguna jalan. Untuk keperluan penerangan saya rasa mereka peroleh dari hasil nyolong setrum. Belum lagi sampahnya bakal berserakan mengotori lingkungan. Wis tho, pokoke kagak pener. Sementara kalau ditertibkan mereka pasti segera teriak, cari makan kok dipersulit.

Lalu..., piye jal?


Iss:
Jalan keluarnya apa ya? Kalau aku lihat di negara tempat bermukimnya Papi RH, tetap ada PKL ini tetapi herannya itu asongannya atau tempatnya berdagang itu kok bagus bagus, tidak kumuh seperti di tempat kita yang asal asalan saja, pakai penutup yang gedeg atau sarung, atau kardus bekas etc. sehingga mata jadi sepet. Asongan itu ya kayak kalau kita melihat di mall misalnya jualan teh tongtjie, atau jagung manis, pakai asongan bagus, tapi didasarkan di trotoir.

Sebenarnya PKL memang tidak usah dibanggakan tidak apa apa, tapi ternyata itu merupakan usaha halal yang cukup lentur menghadapi krisis. jadi ya kalau aku bagus untuk didukung.

Lalu pengaturan dan kebersihan, itulah yang menjadi masalah berat. dan juga keinginan mereka mendirikan bangunan liar yang kalau digusur bikin miris karena mereka rugi, Nah itu yang harusnya dicegah jangan sampai bisa mendirikan bangunan. Kalau mendirikan dibiarkan, setelah jadi digusur dibongkar. Aneh kan kerjanya satpol PP itu?


RH:
Sekedar komentar tambahan tentang "di negara tempat bermukimnya Papi RH, tetap ada PKL ini tetapi herannya itu asongannya atau tempatnya berdagang itu kok bagus" (mengutip ISS).

Di CBD (Central Business District) orang menjajakan dagangan sampai ke jalan orang (footpath) dilarang keras. Saya tidak pernah melihat di kota Barat manapun orang PKL jualan di daerah CBD.

Tetapi di suburbs, seperti di Richmond dan Clayton (masing-masing 10 dan 20 km dari pusat Melbourne) memang sudah ada PKL, yang meskipun menurut sementara orang (tentunya para pedagang sendiri, yang datang dari Asia [Vietnam, India, Cina] dianggap cukup rapih, namun untuk orang lain (orang European) tetap dianggap kumuh. Saya sendiripun menganggap praktek ini kumuh. Tetapi suburbs semacam ini pemerintahan kotanya (municipal governments) dikuasai oleh orang-orang ethnik sendiri, jadi kurang lebih mereka bisa membuat peraturan yang agak longgar. Tetapi kesan "PKL sebagai usaha kumuh dan bersifat Asia" di antara kalangan umum masyarakat di sini memang ada.

Di banyak daerah di sini apa yang dinamakan "by-laws", atau peraturan pemerintahan kota setempat, memiliki kekuasaan untuk mengatur jalannya perusahaan dan ketertiban seluruh masayarakat. Karena pada umumnya kesadaran akan "taat kepada hukum" cukup tinggi, maka PKL liar tidak mungkin tumbuh di sini. Orang mempunyai "standard" mengenai apa yang layak, yang baik, yang bersih, yang sehat, yang memberi kenyamanan, dan usaha ngawur tidak dihargai oleh masyarakat. Jangan lagi kalau ada orang sakit karena beli minuman atau makanan dari warung liar, seluruh bangsa bisa jadi heboh, "kok standard dari third world / negeri terbelakan diijinkan berkembang di negeri maju kita".

Kenyamanan hidup di kota kecilan seperti pemukiman tempatku tinggal memang ada, yaitu serba bersih, serba teratur, serba mengenakkan ...

Namun salut kepada kehendak keras dan mulia orang di Ina yang tetap ingin berjuang menjadi pedagang PKL, meskipun tidak dihargai oleh 'para pengguna jalur jalan kaki".
Sebaiknya ada pemerintahan kota yang berfungsi baik, dengan aturan yang baik, yang rela melibatkan para pedagang ini untuk mencari rejeki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar