Sugeng Rawuh


free counter

Selasa, 22 September 2009

RADIO


Papilon:
Tak rasak-rasakke, sudah sekian tahun belakangan ini saya tak pernah lagi..., ndengerin radio! Padahal "dulu" itu paling getol ngikutin siaran sandiwara radio, sebangsa Godriiillll dsb.

Piye Jal kok radio sampai terlupakan. Bahkan sekarang, yang namanya radio..., kagak punya!


RH:
Kebudayaan radio di Oz lebih giat daripada kesan yang saya dapat dari Indonesia.
Dalam bidang radio lokal, jenis siaran dan target peminat banyak sekali, ada yang menyiarkan musik utk orang muda, ada yang menyiarkan "current affairs" dsb dsb.
Banyak orang terlibat dalam kegiatan siaran radio.

Orang bisa menjadi milyuner dengan menjadi "bintang radio". Misalnya John Laws di Sydney yang baru saja pensiun pada usia 70 th lebih adalah milyuner radio yang amat terkenal. Koleksi mobil vintage dan balapnya banyak sekali!

Di daerah saya ada penyiar yang makin lama makin beken untuk saya, namanya Gerard Callinan, asli dari Inggris, padahal masuk ke sini sebagai pemuda baru th 1987. Orang bisa mengambil karier dalam bidang radio dan hidup dengan enakan.

Untuk saya sendiri radio (kecuali bbrp clock radio) di rumah ada cukup banyak, satu mesti berbunyi di ruang umum. Biasanya saya setel pada ABC-FM, dan acaranya hampir khusus memainkan musik klasik atau musik adi luhung (fine music) dengan penjelasan yang mendetel. Kadang-kadang saya pindah ke gelombang lain ABC-Victoria yang menyiarkan bahasan keadaan lokal dan dunia. Acara yang cukup menarik ialah "talk back", di mana penyiar mengundang komentar dan pertanyaan dari publik melalui telpon mengenai masalah yang baru "makan hati" di antara warga. Kadang-kadang yang menelpon sedang mengemudikan mobil di suatu daerah yang belum pernah saya dengar.

Berlawanan dengan gaya hidup Papilon, saya lebih "tergantung" kepada kultur radio. Radio adalah instant, lebih instand dari mie, karena apa yang terjadi segera kita dengar tanpa harus menoleh atau membuka mata.

Sayang lho kalau kultur radio mundur!


IWS:
Mas pillon, nek panjenengan ndak pernah dengar radio, itu ya mungkin kebetulan saja. Di metropolitan jakarta, radio sangat bermanfaat. di tengah kemacetan, sambil menempuh lautan kemacetan, radio bisa mewartakan aneka peristiwa dari seantero jagat. Mana pula sekarang alat komunikasi sudah menyentuh pojok-pojok negeri. suatu ketika kita bisa secara langsung dengar kisah sedih janda yang ditinggal mati anak semata wayang karena kelongsoran di cianjur, papua atau malang. Pada waktu lain, kita bisa dengar laporan pemilu amrik dari reporter amatir yg cukup akurat. Apa lagi banyak siaran swasta merdeka sekarang bisa disender ke seluruh nusantara lewat radio networks.

Kemarin dulu..., siang-siang saya sempat naik taksi dari dekat perempatan kuningan ke arah JakTV di SCBD. Eh.. radionya menyiarkan rengeng-rengeng ura-ura.. uler kambang...

Yaa.. radio dulu yang bagus 'cuma' radio australia.. Jalan kaki dari muntilan sampai samigaluh nggendong telesonic transistor dengan siaran Kadarusman.. Sepertinya tahun 1967 tuh..

Salam radio,


RH:
Memang radio sebagai sumber media yang segera hadir (instantaneous) lama belum akan pudar, bahkan sekarang mengalami kebangkitan. Radio menggetarkan indera pendengaran yang secara psikologis ternyata lebih menggembirakan hati daripada indera pandangan.

Sekarang radio bisa didengarkan melalui internet, piye jal! Misalnya sambil mengetik kiriman ini saya bisa mendengarkan siaran langsung dari:
http://www.abc.net.au/classic/audio/#now

Tidak ada komentar:

Posting Komentar